Senin, 06 November 2017

PENGARUH TERAPI MUSIK GAMELAN TERHADAP EKSPRESI WAJAH POSITIF PADA ANAK AUTIS



PENGARUH TERAPI MUSIK GAMELAN TERHADAP EKSPRESI WAJAH POSITIF PADA ANAK AUTIS

     Interaksi sosial menurut Walgito yaitu sebagai suatu hubungan antara individu satu dengan individu lainnya dimana individu yang satu dapat mempengaruhi individu yang lainny sehingga terjadi hubungan timbal balik. Salah satu aspek penting dalam berlangsungnya interaksi sosial adalah komunikasi. Komunikasi merupakan proses menyampaikan perasaan ataupun pikiran kepada orang lain untuk mendapatkan suatu reaksi. Komunikasi yang terjadi adalah komunikasi verbal maupun nonverbal.

     Komunikasi non verbal adalah komunikasi yang menggunakan pesan-pesan nonverbal. Biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Dalam kehidupan sehari-hari penggunaan komunikasi non verbal sering digunakan oleh seseorang, seperti menganggukkan kepala yang berarti setuju, menggelengkan kepala yang berarti tidak setuju, melambaikan tangan kepada orang lain, yang berarti seseorang tersebut sedang memanggilnya untuk datang kemari, dan lain-lain. Komunikasi non verbal yang sering muncul pada seseorang adalah ekspresi wajah. Ketika seseorang bertemu dengan orang lain, maka kali pertama yang dilihat adalah ekspresi wajah.

     Tidak sedikit orang yang kurang mampu mengekspresikan emosi yang saat itu dirasakan kepada orang lain, sehingga apa yang menjadi harapan serta keinginan tidak tersampaikan bahkan bisa jadi tidak terpenuhi. Hambatan ketidakmapuan mengekspresikan emosi sering dialami oleh penyandang autis.


     Diagnosis and Statistic Manual IV menjelaskan autisme adalah gangguan perkembangan interaksi sosial dan komunikasi yang abnormal sehingga menimbulkan keterbatasan aktivitas. Salah satu penyebab autisme adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif. Empat puluh tiga persen penyandang autis mempunyai kelainan pada lobus parietalis otak, yang menyebabkan anak “cuek” terhadap lingkungannya. Kelainan pada lobus parietalis otak mempengaruhi kurangnya ekspresi wajah yang tampak pada anak autis, hal tersebut dapat dilihat dari ekspresi wajah yang datar pada anak autis.
  
     Hal mencolok yang bisa dilihat dari anakanak penyandang autis adalah kurang mampu berkomunikasi dengan sebaya. Ketidakmampuan anak autis dalam menyampaikan keinginannya tidak jarang mengakibatkan kurang terpenuhinya kebutuhan baik fisik maupun psikis. Selain itu, karena keterbatasan kemampuan ekspresi emosi menimbulkan gangguan dalam berkomunikasi serta berinteraksi sosial terhadap orang lain sehingga keinginan yang ingin disampaikan menjadi terhambat bahkan tidak mampu diterima oleh orang lain.

     Berdasarkan Diagnosis and Statistic Manual IV gangguan komunikasi pada anak autis tampak pada sejumlah perilaku verbal yaitu seperti kelambatan perkembangan bahasa lisan, gangguan dalam memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain, penggunaan bahasa yang stereotipik dan repetitif atau bahasa yang idiosinkratik, bicara tidak untuk komunikasi, kata-kata yang diucapkan tidak mengandung makna, tidak melakukan permainan pura-pura atau meniru yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.

     Gangguan interaksi yang tampak pada perilaku non verbal seperti kurangnya pandangan dari mata ke mata, ekspresi wajah kurang, postur tubuh, ketidakmampuan mengembangkan hubungan dengan teman sebaya, kurang berminat untuk berbagi kegembiraan dengan orang lain atau prestasi dengan orang lain, tidak ada hubungan emosional timbal-balik. Komunikasi non verbal yang paling sering tampak dan mudah untuk dilakukan pengukuran pada anak autis adalah ekspresi wajah. Suatu terapi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kondisi seseorang yang masih rendah atau cenderung tidak ada menjadi lebih baik atau meningkat. Saat ini terapi untuk penyandang autis bermacam-macam ragamnya. Gangguan Spectrum Autisme adalah suatu gangguan proses perkembangan, sehingga terapi jenis apapun yang dilakukan akan memerlukan waktu yang lama. Selain itu, terapi harus dilakukan secara terpadu dan setiap anak membutuhkan jenis terapi yang berbeda.

     Salah satu metode yang sekarang dikembangkan untuk meningkatkan komunikasi anak autis yaitu terapi musik. Terapi musik adalah penggunaan musik sebagai peralatan terapi untuk memperbaiki, memelihara, mengembangkan mental, fisik, dan kesehatan emosi. Terapi musik digunakan untuk memperbaiki kesehatan fisik, ekspresi emosi secara alamiah, interaksi sosial yang positif, mengembangkan hubungan interpersonal, dan meningkatkan kesadaran diri. Penggunaan musik cenderung efektif karena musik merupakan bentuk komunikasi nonverbal, yang mempunyai efek penguat (reinforcer) yang alami, dan dapat memberikan motivasi bagi anak autis untuk mempelajari keterampilan-keterampilan lain di luar keterampilan musik. Musik membuka jalan bagi memori dan emosi, memancing dan mempertahankan atensinya, merangsang dan memanfaatkan bagian-bagian otak.

     Terapi gamelan diduga efektif dalam meningkatkan ekspresi wajah positif pada anak dengan gangguan autis. Pada tahap treatmen anak diberikan stimulus menyenangkan yaitu alat musik gamelan. Alunan musik gamelan menjadi daya tarik bagi anak dengan gangguan autisme serta memberi stimulus pada anak untuk merasakan perasaan bahagia yang ditransfer dari bunyi gamelan. Selain itu pada fase treatmen anak dituntut untuk memperhatikan instruksi dari instruktur dan melakukan imitasi dalam memainkan alat musik gamelan.
 Jensen menjelaskan kaitannya dengan pengaruh motorik pada otak. Latihan motorik setidaknya tiga puluh menit dalam sehari akan menstimulasi otak. Dalam penelitiannya menjelaskan bahwa gerakan anggota badan dalam lingkungannya memiliki jumlah koneksi antar neuron yang jauh lebih besar dari pada yang tidak melakukan gerakan.Gerakan tersebut menyebabkan kapiler di sekitar neuron otak meningkat. Selain hal tersebut, dengan melakukan gerakan maka oksigen akan masuk ke dalam otak dan memicu pelepasan neurotrofin yang dapat meningkatkan dan mempengaruhi suasana hati. Suasana hati ini yang selanjutnya merangsang terjadinya ekspresi wajah positif.

     Darwin menjelaskan bahwa ekspresi wajah adalah respon yang tidak dapat dipelajari terdiri atas serangkaian gerakan yang komplek, terutama gerakan otot pada wajah yang dibawa sejak lahir. Dalam penelitiannya Darwin menjelaskan bahwa ekspresi wajah terjadi secara spontan dan merupakan faktor biologi. Ekspresi wajah pada manusia ada kesamaan dengan ekspresi wajah pada binatang. Ekspresi wajah orang yang merasa bahagia akan mengangkat kedua ujung bibirnya, sedangkan orang yang sedang bersedih akan menurunkan kedua ujung bibirnya. Dari penelitian tersebut Darwin menyimpulkan bahwa ekspresi wajah dipengaruhi secara biologi bukan diperoleh dari hasil budaya.  Bahwa ekspresi wajah merupakan pola respon yang ditentukan oleh faktor biologi yang dikontrol oleh mekanisme otak bawaan.

     Ekspresi wajah positif adalah gerakan wajah yang terjadi secara spontan sebagai reaksi emosi yang disebabkan oleh stimulus menyenangkan Perasaan bahagia diaktualisaikan dengan berbagai macam, seperti kesenangan, kegirangan, kelegaan, kegembiraan, kepuasan dan rasa suka. Perasaan bahagia diekspresikan dengan pipinya menjadi lebih tinggi, terjadi pergerakan otot mata, ujung bibir terangkat, atau pun rahang terbuka disertai kontraksi otot rahang dan leher bagian atas. Hormon epineprin bekerja ketika tubuh merasakan sensasi yang menyenangkan, Hormon epineprin memicu kenaikan otot dalam pembuluh darah dan menyebabkan nutrisi yang tersimpan otot dikonversikan ke dalam glukosa.Ditambahkan, korteks adrenal mengeluarkan hormon steroid, yang mana membantu glukosa tersedia pada otot.

     Bentuk ekspresi wajah positif menurut Ekman adalah, 
  1.  Senyum Senang (Senyum Duchenne) : Senyum senang ditandai dengan otot area bibir aktif, ujung bibir terangkat, mata menyempit dan pipi menjadi lebih tinggi. 
  2.   Senyum lebar : Senyum lebar ditandai dengan rahang terbuka, pipi tertekan ke atas yang membuat lipatan garis di bawah mata, mata menjadi sempit atau bahkan menghasilkan kerutan dekat mata. 
  3. Tertawa : Tertawa ditandai dengan rahang terbuka, pipi tertekan ke atas yang membuat lipatan garis di bawah mata, mata menjadi sempit atau bahkan menghasilkan kerutan dekat mata serta volume suara meninggi.

     Faktor yang mempengaruhi ekspresi wajah positif terdiri dari faktor internal, faktor eksternal dan interpersonal. Faktor internal yang mempengaruhi terjadinya ekspresi wajah adalah emosi. Emosi terdiri dari pola-pola respon psikologi dan perilaku khas individu (karakter). Pada manusia, respon tersebut berupa perasaan. Emosi terdiri dari emosi negatif dan positif. Emosi negatif misalnya, perasaan marah, sedih, takut dan jijik, sedangkan emosi positif seperti perasaan bahagia. Perasaan bahagia tersebut ditampakkan pada ekspresi wajah positif.
Faktor eksternal yang mempengaruhi ekspresi wajah positif adalah stimulus. Emosi positif dipicu oleh stimulus yang menyenangkan, dalam penelitian ini stimulus menyenangkan adalah alat musik gamelan. Ketika seseorang merasakan sensasi yang menyenangkan, baik berupa sensasi auditori, visual dan touching, maka hormon epineprin akan meningkat, hormon tersebut merangsang munculnya emosi, selanjutnya emosi diwujudkan melalui bentuk perilaku berupa ekspresi wajah.

     Menurut Lindberg, terapi musik adalah penggunaan musik dan strategi-strategi yang berhubungan dengan musik secara terinci oleh terapis musik yang berkualitas untuk membantu atau memotivasi individu mencapai tujuan nonmusikal tertentu. Kaitan musik dalam terapi musik yaitu bunyi yang dihasilkan oleh musik tersebut diperdengarkan sehingga merangsang sensasi auditori, yang selanjutnya digunakan untuk meningkatkan kehidupan personal dan kemampuan non musikal.
 Salim menjelaskan bahwa terapi musik gamelan adalah musik gamelan yang difungsikan untuk meningkatkan kondisi non musikal tertentu. Gamelan adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong.Istilah gamelan merujuk pada instrumennya yang mana merupakan satu kesatuan utuh yang diwujudkan dan dibunyikan bersama. Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa gamel yang berarti memukul/ menabuh, diikuti akhiran an yang menjadikannya kata benda.

     Gamelan dalam terapi musik karena memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan dengan terapi musik yang lain. Pada terapi musik, instrumen yang digunakan hanyalah bunyi yang dihasilkan oleh musik tersebut sehingga sensasi yang didapatkan hanya berupa sensai auditori. Berbeda dengan terapi musik yang lain, terapi musik gamelan tidak hanya menggunakan instrument berupa bunyi yang dihasilkan, akan tetapi berupa bentuk unik dari alat musik serta gerakan yang dihasikan dari proses memainkan alat musik gamelan, sehingga sensasi yang dihasilkan oleh terapi musik gamelan berupa sensasi auditori, visual serta motorik.
Terapi musik merupakan tipe terapi nonverbal, berbeda dengan terapi konvensional yang lain karena dalam terapi musik klien diminta mengungkapkan perasaan dan pengalaman hidupnya. Menurut Djohan, terapi musik mempunyai beberapa keunggulan seperti:
  1. Berpikir serta merasakan secara langsung 
  2. Mempunyai kesempatan “mengisi” perasaan untuk beberapa periode sehingga bisa dieksplorasi, diuji, dan diolah lewat kerja sama dengan terapis dalam proses penyembuhan 
  3. Mengkondisikan ekspresi pikiran dan perasaan secara nonverbal yang belum pernah dirasakan klien yang biasanya hanya diekspresikan secara verbal 
  4. Memperoleh perumpamaan dan asosiasi yang tidak dapat diakses melalui pemahaman verbal 
  5. Memperoleh keuntungan fisiologis secara langsung bagi klien dibandingkan dengan metode verbal. Kebebasan mengeksplorasi dan mencoba berbagai solusi terhadap pikiran dan perasaan dalam menghadapi masalah klien melalui cara-cara yang kreatif.

     Sehingga pemberian terapi musik gamelan memiliki pengaruh signifikan terhadap ekspresi wajah posif anak autis. Ada perbedaan ekspresi wajah positif antara sebelum perlakuan dan ketika diberi terapi musik gamelan dan sesudah diberi perlakuan. Sehingga terapi ini dapat digunakan sebagai salah satu metode untuk meningkatkan ekspresi wajah positif anak autis.


Sumber : http://ejournal.uin-suka.ac.id/isoshum/PI  
Oleh Sartika, Erwin Dian Rohmah, Faridah Ainur. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar