PENGARUH TERAPI MUSIK GAMELAN TERHADAP EKSPRESI
WAJAH POSITIF PADA ANAK AUTIS
Interaksi sosial menurut Walgito yaitu sebagai suatu
hubungan antara individu satu dengan individu lainnya dimana individu yang satu
dapat mempengaruhi individu yang lainny sehingga terjadi hubungan timbal balik.
Salah satu aspek penting dalam berlangsungnya interaksi sosial adalah komunikasi.
Komunikasi merupakan proses menyampaikan perasaan ataupun pikiran kepada orang
lain untuk mendapatkan suatu reaksi. Komunikasi yang terjadi adalah komunikasi
verbal maupun nonverbal.
Komunikasi non verbal adalah komunikasi yang
menggunakan pesan-pesan nonverbal. Biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa
komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Dalam kehidupan sehari-hari
penggunaan komunikasi non verbal sering digunakan oleh seseorang, seperti menganggukkan kepala yang berarti setuju, menggelengkan kepala yang berarti
tidak setuju, melambaikan tangan kepada orang lain, yang berarti seseorang tersebut
sedang memanggilnya untuk datang kemari, dan lain-lain. Komunikasi non verbal yang sering muncul pada seseorang
adalah ekspresi wajah. Ketika seseorang bertemu dengan orang lain, maka kali
pertama yang dilihat adalah ekspresi wajah.
Tidak sedikit orang yang kurang mampu mengekspresikan
emosi yang saat itu dirasakan kepada orang lain, sehingga apa yang menjadi
harapan serta keinginan tidak tersampaikan bahkan bisa jadi tidak terpenuhi. Hambatan
ketidakmapuan mengekspresikan emosi sering dialami oleh penyandang autis.
Diagnosis and Statistic Manual IV menjelaskan
autisme adalah gangguan perkembangan interaksi sosial dan komunikasi yang
abnormal sehingga menimbulkan keterbatasan aktivitas. Salah satu penyebab autisme
adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga
anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.
Empat puluh tiga persen penyandang autis mempunyai kelainan pada lobus
parietalis otak, yang menyebabkan anak “cuek” terhadap lingkungannya. Kelainan
pada lobus parietalis otak mempengaruhi kurangnya ekspresi wajah yang tampak
pada anak autis, hal tersebut dapat dilihat dari ekspresi wajah yang datar pada
anak autis.
Hal mencolok yang bisa dilihat dari anakanak penyandang
autis adalah kurang mampu berkomunikasi dengan sebaya. Ketidakmampuan anak
autis dalam menyampaikan keinginannya tidak jarang mengakibatkan kurang terpenuhinya
kebutuhan baik fisik maupun psikis. Selain itu, karena keterbatasan kemampuan ekspresi
emosi menimbulkan gangguan dalam berkomunikasi serta berinteraksi sosial terhadap
orang lain sehingga keinginan yang ingin disampaikan menjadi terhambat bahkan tidak
mampu diterima oleh orang lain.
Berdasarkan Diagnosis and Statistic Manual IV gangguan
komunikasi pada anak autis tampak pada sejumlah perilaku verbal yaitu seperti
kelambatan perkembangan bahasa lisan, gangguan dalam memulai atau mempertahankan
percakapan dengan orang lain, penggunaan bahasa yang stereotipik dan repetitif
atau bahasa yang idiosinkratik, bicara tidak untuk komunikasi, kata-kata yang diucapkan
tidak mengandung makna, tidak melakukan permainan pura-pura atau meniru yang
sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Gangguan interaksi yang tampak pada perilaku non
verbal seperti kurangnya pandangan dari mata ke mata, ekspresi wajah kurang, postur
tubuh, ketidakmampuan mengembangkan hubungan dengan teman sebaya, kurang berminat
untuk berbagi kegembiraan dengan orang lain atau prestasi dengan orang lain, tidak
ada hubungan emosional timbal-balik. Komunikasi non verbal yang paling sering tampak dan
mudah untuk dilakukan pengukuran pada anak autis adalah ekspresi wajah. Suatu
terapi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kondisi seseorang yang masih rendah
atau cenderung tidak ada menjadi lebih baik atau meningkat. Saat ini terapi
untuk penyandang autis bermacam-macam ragamnya. Gangguan Spectrum Autisme
adalah suatu gangguan proses perkembangan, sehingga terapi jenis apapun
yang dilakukan akan memerlukan waktu yang lama. Selain itu, terapi harus
dilakukan secara terpadu dan setiap anak membutuhkan jenis terapi yang berbeda.
Salah satu metode yang sekarang dikembangkan untuk
meningkatkan komunikasi anak autis yaitu terapi musik. Terapi musik adalah
penggunaan musik sebagai peralatan terapi untuk memperbaiki, memelihara, mengembangkan
mental, fisik, dan kesehatan emosi. Terapi musik digunakan untuk memperbaiki kesehatan
fisik, ekspresi emosi secara alamiah, interaksi sosial yang positif,
mengembangkan hubungan interpersonal, dan meningkatkan kesadaran diri. Penggunaan musik cenderung efektif karena musik
merupakan bentuk komunikasi nonverbal, yang mempunyai efek penguat (reinforcer)
yang alami, dan dapat memberikan motivasi bagi anak autis untuk mempelajari
keterampilan-keterampilan lain di luar keterampilan musik. Musik membuka jalan
bagi memori dan emosi, memancing dan mempertahankan atensinya, merangsang dan
memanfaatkan bagian-bagian otak.
Terapi gamelan diduga efektif dalam meningkatkan ekspresi
wajah positif pada anak dengan gangguan autis. Pada tahap treatmen anak diberikan
stimulus menyenangkan yaitu alat musik gamelan. Alunan musik gamelan menjadi
daya tarik bagi anak dengan gangguan autisme serta memberi stimulus pada anak
untuk merasakan perasaan bahagia yang ditransfer dari bunyi gamelan. Selain itu
pada fase treatmen anak dituntut untuk memperhatikan instruksi dari instruktur
dan melakukan imitasi dalam memainkan alat musik gamelan.
Jensen menjelaskan kaitannya dengan pengaruh motorik
pada otak. Latihan motorik setidaknya tiga puluh menit dalam sehari akan menstimulasi
otak. Dalam penelitiannya menjelaskan bahwa gerakan anggota badan dalam
lingkungannya memiliki jumlah koneksi antar neuron yang jauh lebih besar dari
pada yang tidak melakukan gerakan.Gerakan tersebut menyebabkan kapiler di
sekitar neuron otak meningkat. Selain hal tersebut, dengan melakukan gerakan maka
oksigen akan masuk ke dalam otak dan memicu pelepasan neurotrofin yang dapat meningkatkan
dan mempengaruhi suasana hati. Suasana hati ini yang selanjutnya merangsang terjadinya
ekspresi wajah positif.
Darwin menjelaskan bahwa ekspresi wajah adalah
respon yang tidak dapat dipelajari terdiri atas serangkaian gerakan yang
komplek, terutama gerakan otot pada wajah yang dibawa sejak lahir. Dalam penelitiannya
Darwin menjelaskan bahwa ekspresi wajah terjadi secara spontan dan merupakan
faktor biologi. Ekspresi wajah pada manusia ada kesamaan dengan ekspresi wajah
pada binatang. Ekspresi wajah orang yang merasa bahagia akan mengangkat kedua
ujung bibirnya, sedangkan orang yang sedang bersedih akan menurunkan kedua
ujung bibirnya. Dari penelitian tersebut Darwin menyimpulkan bahwa ekspresi
wajah dipengaruhi secara biologi bukan diperoleh dari
hasil budaya. Bahwa ekspresi wajah merupakan
pola respon yang ditentukan oleh faktor biologi yang dikontrol oleh mekanisme
otak bawaan.
Ekspresi wajah positif adalah gerakan wajah yang
terjadi secara spontan sebagai reaksi emosi yang disebabkan oleh stimulus menyenangkan
Perasaan bahagia diaktualisaikan dengan berbagai macam, seperti kesenangan,
kegirangan, kelegaan, kegembiraan, kepuasan dan rasa suka. Perasaan bahagia
diekspresikan dengan pipinya menjadi lebih tinggi, terjadi pergerakan otot mata,
ujung bibir terangkat, atau pun rahang terbuka disertai kontraksi otot rahang
dan leher bagian atas. Hormon epineprin bekerja ketika tubuh merasakan sensasi
yang menyenangkan, Hormon epineprin memicu kenaikan otot dalam pembuluh darah
dan menyebabkan nutrisi yang tersimpan otot dikonversikan ke dalam
glukosa.Ditambahkan, korteks adrenal mengeluarkan hormon steroid, yang mana
membantu glukosa tersedia pada otot.
- Senyum Senang (Senyum Duchenne) : Senyum senang ditandai dengan otot area bibir aktif, ujung bibir terangkat, mata menyempit dan pipi menjadi lebih tinggi.
- Senyum lebar : Senyum lebar ditandai dengan rahang terbuka, pipi tertekan ke atas yang membuat lipatan garis di bawah mata, mata menjadi sempit atau bahkan menghasilkan kerutan dekat mata.
- Tertawa : Tertawa ditandai dengan rahang terbuka, pipi tertekan ke atas yang membuat lipatan garis di bawah mata, mata menjadi sempit atau bahkan menghasilkan kerutan dekat mata serta volume suara meninggi.
Faktor yang mempengaruhi ekspresi wajah positif
terdiri dari faktor internal, faktor eksternal dan interpersonal. Faktor
internal yang mempengaruhi terjadinya ekspresi wajah adalah emosi. Emosi
terdiri dari pola-pola respon psikologi dan perilaku khas individu (karakter).
Pada manusia, respon tersebut berupa perasaan. Emosi terdiri dari emosi negatif
dan positif. Emosi negatif misalnya, perasaan marah, sedih, takut dan jijik,
sedangkan emosi positif seperti perasaan bahagia. Perasaan bahagia tersebut
ditampakkan pada ekspresi wajah positif.
Faktor eksternal yang mempengaruhi ekspresi wajah
positif adalah stimulus. Emosi positif dipicu oleh stimulus yang menyenangkan, dalam
penelitian ini stimulus menyenangkan adalah alat musik gamelan. Ketika seseorang
merasakan sensasi yang menyenangkan, baik berupa sensasi auditori, visual dan touching,
maka hormon epineprin akan meningkat, hormon tersebut merangsang munculnya emosi,
selanjutnya emosi diwujudkan melalui bentuk perilaku berupa ekspresi wajah.
Menurut Lindberg, terapi musik adalah penggunaan musik
dan strategi-strategi yang berhubungan dengan musik secara terinci oleh terapis
musik yang berkualitas untuk membantu atau memotivasi individu mencapai tujuan
nonmusikal tertentu. Kaitan musik dalam terapi musik yaitu bunyi yang dihasilkan
oleh musik tersebut diperdengarkan sehingga merangsang sensasi auditori, yang
selanjutnya digunakan untuk meningkatkan kehidupan personal dan kemampuan non
musikal.
Salim menjelaskan bahwa terapi musik gamelan adalah
musik gamelan yang difungsikan untuk meningkatkan kondisi non musikal tertentu.
Gamelan adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang,
gendang, dan gong.Istilah gamelan merujuk pada instrumennya yang mana merupakan
satu kesatuan utuh yang diwujudkan dan dibunyikan bersama. Kata Gamelan sendiri
berasal dari bahasa Jawa gamel yang berarti memukul/ menabuh, diikuti
akhiran an yang menjadikannya kata benda.
Gamelan dalam terapi musik karena memiliki kelebihan
tersendiri dibandingkan dengan terapi musik yang lain. Pada terapi musik, instrumen
yang digunakan hanyalah bunyi yang dihasilkan oleh musik tersebut sehingga
sensasi yang didapatkan hanya berupa sensai auditori. Berbeda dengan terapi musik
yang lain, terapi musik gamelan tidak hanya menggunakan instrument berupa bunyi
yang dihasilkan, akan tetapi berupa bentuk unik dari alat musik serta gerakan
yang dihasikan dari proses memainkan alat musik gamelan, sehingga sensasi yang
dihasilkan oleh terapi musik gamelan berupa sensasi auditori, visual serta
motorik.
Terapi musik merupakan tipe terapi nonverbal, berbeda
dengan terapi konvensional yang lain karena dalam terapi musik klien diminta
mengungkapkan perasaan dan pengalaman hidupnya. Menurut Djohan, terapi musik
mempunyai beberapa keunggulan seperti:
- Berpikir serta merasakan secara langsung
- Mempunyai kesempatan “mengisi” perasaan untuk beberapa periode sehingga bisa dieksplorasi, diuji, dan diolah lewat kerja sama dengan terapis dalam proses penyembuhan
- Mengkondisikan ekspresi pikiran dan perasaan secara nonverbal yang belum pernah dirasakan klien yang biasanya hanya diekspresikan secara verbal
- Memperoleh perumpamaan dan asosiasi yang tidak dapat diakses melalui pemahaman verbal
- Memperoleh keuntungan fisiologis secara langsung bagi klien dibandingkan dengan metode verbal. Kebebasan mengeksplorasi dan mencoba berbagai solusi terhadap pikiran dan perasaan dalam menghadapi masalah klien melalui cara-cara yang kreatif.
Sehingga pemberian terapi musik gamelan memiliki
pengaruh signifikan terhadap ekspresi wajah posif anak autis. Ada perbedaan
ekspresi wajah positif antara sebelum perlakuan dan ketika diberi terapi musik
gamelan dan sesudah diberi perlakuan. Sehingga terapi ini dapat digunakan
sebagai salah satu metode untuk meningkatkan ekspresi wajah positif anak autis.
Sumber : http://ejournal.uin-suka.ac.id/isoshum/PI
Oleh Sartika, Erwin Dian Rohmah, Faridah Ainur. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber : http://ejournal.uin-suka.ac.id/isoshum/PI
Oleh Sartika, Erwin Dian Rohmah, Faridah Ainur. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar