BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kehidupan sehari-hari
tidak dapat terlepas dari aturan dan norma-norma yang berlaku menurut hukum
syara’.
Hukum syara’ itu ada dua macam yaitu hukum syara’ yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung tuntutan dan kebolehan
yang dinamakan “hukum taklifi” dan yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
yang mengandung persyaratan, sebab atau mani’ dinamakan ‘hukum wadh’i”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hukum wadh’i?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Hukum wadh’i.
2. Untuk mengetahui macam-macam hukum wadh’i.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu
adalah sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu. Bila firman Allah
menunjukkan atas kaitan sesuatu dengan hukum taklifi, baik bersifat sebagai
sebab, atau syarat, atau penghalang maka ia disebut hukum wadh’i. Di dalam ilmu
hukum ia disebut pertimbangan hukum.
Adapun contohnya yaitu :
1. Firman Allah
yang menjadikan sesuatu sebagai sebab:
.يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ
امَنُوْآاِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْ هَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ
اِلَى الْمَرَافِقِ....(المائدة:6)
Artinya :”Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri untuk
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada suku.”(QS.
Al-Ma’idah:6)
Ayat di atas dapat dipahami bahwa mendirikan shalat menjadi
sebab untuk mewajibkan wudhu atau menjadikan sesuatu adalah sebab terhadap
sesuatu.
2. Firman Allah
yang menjadikan sesuatu sebagai syarat:
لَا نِكَاحَ
اِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ(روه احمد)
Artinya :”Tidak syah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi
yang adil.” (HR. Ahmad)
Dua orang saksi menjadi syarat untuk sahnya pernikahan
itulah yang dimaksud dengan menentukan sesuatu menjadi sahnya sesuatu.
3. Contoh mani’
atau penghalang seperti tercantum dalam hadist yang berbunyi :
لَيْسَ
لِلْقَاتِلِ مِنَ المِيْرَاثِ شَيْءٌ (رواه النسائ والدا رقطنى)
Artinya:”Tidak sedikitpun bagian orang yang membunuh dari harta
warisan (yang terbunuh)”. (HR. Nasa’i dan Daraquthi dari Amrin bin Suaib dari
ayahnya dan dari anaknya)
Hadist tersebut menunjukkan bahwa membunuh sebagai
penghalang untuk mendapatkan warisan.
B. Macam-Macam Hukum Wadh’i
Para ulama fiqh menyatakan bahwa hukum wadh’i itu ada lima macam,
yaitu :
1. Sebab
a. Pengertian Sebab
Sebab menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada
sesuatu yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang dijadikan oleh
syar’i sebagai tanda atas musababnya dan mengkaitkan keberadaan musabab, dengan
ketiadaannya. Hukum syara’ kadang-kadang diketahui melalui tanda yang
menunjukkan bahwa perbuatan itu menjadi kewajiban mukallaf. Misalnya: Perbuatan zina menyebabkan
seseorang dikenai hukuman dera 100 kali, tergelincirnya matahari menjadi sebab
wajibnya sholat dhuhur, dan terbenamnya matahari menjadi sebab wajibnya shalat
magrib. Apabila perzinaan tidak dilakukan, maka hukuman dera tidak dikenakan.
Apabila matahari belum tergelincir, maka shalat dhuhur belum wajib. Dan apabila
matahari belum terbenam, maka shalat mahgrib belum wajib.
Dengan demikian terlihat hukum wadh’i dalam hal ini adalah sebab,
dengan hukum taklifi, keberadaan hukum wadh’i itu tidak menyentuh esensi hukum
taklifi. Hukum wadh’I hanya sebagai petunjuk atau indikator untuk pelaksanaan
hukum taklifi. Akan tetapi, para ulama’ ushul fiqih menetapkan bahwa sebab itu
harus muncul dari nash, bukan buatan manusia.
b.Pembagian sebab
Secara garis besar sebab ada dua macam, yaitu:
1) Sebab yang tidak termasuk perbuatan mukallaf.
Seperti dalam contoh tibanya waktu shalat dan menimbulkan wajibnya
shalat. Dalam firman Allah SWT.:
اَقِمِ الصَّلَا ةَ لِدُلُوْكِ
الشَّمْسِ...
Artinya:” dirikanlah shalat dari sesudah matahari
tergelincir….( Q.S. Al-isra’ : 78 )
2) Sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf.
Seperti pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja yang menyebabkan
adanya qishas. Dalam firman Allah SWT. :
يَآ أَيُّهَاالَّذِيْنَ
ءَامَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الْثِصَاصُ فِى القَتْلَى.....
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuhHai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh….”(
al-Baqarah:178)
2. Syarat
a. Pengertian syarat
Syarat ialah sesuatu yang berada di luar hukum syara’, tetapi
keberadaannya hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada,
hukum pun tidak ada, tetapi, adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum
syara’.
Misalnya: Wudlu adalah salah satu syarat sahnya shalat. Sholat tidak
dapat dilaksanakan, tanpa berwudlu terlebuh dahulu. Akan tetapi apabila
seseorang berwudlu, ia tidak harus melaksanakan shalat.
b. Pembagian syarat
Para ulama’ memberi uraian tentang pembagian syarat dengan berbagai
tinjauan, akan tetapi yang terpenting ialah bahwa ditunjau dari segi
penetapannya sebagai hukum syara’, syarat dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1) Syarat Asy-syar’iyyah
Ialah syarat yang menyempurnakan sebab dan menjadikan efeknya yang
timbul padanya yang ditentukan oleh syara’.
Misalnya: akad nikah dijadikan syarat halalnya pergaulan suami istri
namun agar akad nikah itu sah disyaratkan dihadiri oleh dua orang saksi. Dengan
demikian apabila akad atau tindakan hukum tidak akan menimbulkan efekya kecuali
apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi.
2) Syarat Al-Ja’liyyah
Ialah syarat yang menyempurnakan sebab dan menjadikan efeknya yang
timbul padanya yang ditentukan oleh mukallaf.Contohnya , seorang suami yang
menjatuhkan talak kepada istrinya dengan mengatakan: “ jika engkau mengulangi
perkataan dusta itu, maka talakmu jatuh satu”. Dengan demikian talak tidak akan
menimbulkan efeknya kecuali tidak terpenuhi syarat talak.
3. Mani’
a. Pengertian Mani’
Menurut bahasa berarati “ penghalang “. Sedangkan dari segi istilah
yang dimaksud dengan mani’ adalah :
مَا رَتَّبَ الشَّارِعُ
عَلَى وُجُوْدِهِ عَدَمُ وُجَوْدِالحُكْمَ أَوْعَدَمُ السَّبَبَ اَيْ بُطْلَانُهُ
“ sesuatu yang ditetapkan oleh syar’i keberadaannya menjadi
ketiadaan hukum atau ketiadaan sebab, maksudnya batalnya sebab itu.” .(
H.R.Bukhari-Muslim ).
Misalnya: hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan
timbulnya hubungan kewarisan (waris-mewarisi ). Apabila ayah wafat, istri dan
anak mendapatkan bagian warisan dari harta ayah atau suami yang wafat sesuai
dengan bagian masing-masing akan tetapi, hak mewarisi ini bisa terhalang
apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah tersebut. Jadi, yang
menghalangi ahli waris untuk mendapatkan warisan itu karena membunuh orang yang
mewarisi.
b. Pembagian Mani’
Para ulama’ membagi mani’ dari sisi pengaruhnya bagi sebab
dan hukum menjadi dua macam :
1) Mani’ yang menghalangi adanya hukum
Yang dimaksud dengan mani’ yang menghalangi adanya hukum
syara’, ialah ketetapan asy-syar’i yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi
penghalang berlakunya hukum syara’ yang umum. Misalnya: hukum syara’ yang umum
menyatakan wajib shalat bagi setiap mukallaf, baik laki-laki maupun wanita.
Akan tetapi, syara’ juga menetapkan, haid dan nifas merupakan penghalang bagi
wanita untuk dikenakan kewajiban meng-qadha’ shalat yang tidak dilaksanakan
selama haid atau nifas.
2) Mani’ yang menghalangi hubungan sebab
Yaitu ketetapan asy-syar’i yang menegaskan bahwa sesuatu
menjadi penghalang bagi lahirnya musabbab/ akibat hukum dari suatu sebab syara’
yang berlaku umum. Misalnya: jumlah
harta yang telah mencapai kadar nishab dan telah dimiliki selama satu tahun (
haul ) merupakan sebab bagi kewajiban mengeluarkan zakat. Akan tetapi,
ketetapan syara’ juga menyatakan bahwa keadaan berhutang merupakan penghalang (
mani’ ) bagi seseorang untuk dikenakan kewajiban zakat.
c. Kaitan antara sebab, syarat, dan mani’
Dari rumusan definisi dan penjelasan diatas, terlihat bahwa
antara sebab, syarat, dan halangan terdapat hubungan yang saling terkait. Mani’
ada bersamaan dengan sebab dan syarat, dan berakibat tidak adanya hukum disebabkan
keberadaan mani’. Misalnya, matahari
telah tergelincir sebagai penyebab disebabakannya shalat dhuhur dan seorang
wanita mukallaf wajib berwudlu sebagai syarat sah shalat. Tetapi jika wanita
yang akan shalat itu sedang haid yang menjadi penghalang ( mani’ ) maka
hukumnya menjadi tidak ada, karena wanita dalam keadan haid tidak boleh
melaksanakan shalat.
4. Ash-Shihah,
Al-Buthlan dan Al-Fasad
a. Pengertian Ash-Shihah, Al-Buthlan dan Al-Fasad
1) Ash-Shihah
secara bahasa Sah atau Shihah (الصححة ) atau shahih ( الصحيح ) lawan dari ( المريضة
) yang artinya sakit. Secara istilah, para ahli ushul fiqih merumuskan definisi
sah dengan :
تَرَتُّبُ ثَمْرَتِهِ الْمَطْلُوْبَةِ مِنْهُ شَرْعًا عَلَيْهِ.
فَإِذَا حَصَلَ السَّبَبُ وَتَوَفَّرَ الشَّرْطُ وَانْتَفَى المَانِعُ تَرَتَّبَتِ
اْلآثَارُ الشَّرْ عِيْةةُ عَلَى الفِعْلِ
“ Tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’,
apabila sebabnya ada, syarat terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil
memenuhi kehendak syara’ pada perbuatan itu.”
Maksudnya, sesuatu perbuatan dikatakan sah apabila
terpenuhi sebab dan syaratnya, tidak ada halangan dalam melaksanakannya, serta
apa yang diinginkan syara’ dari perbuatan itu berhasil dicapai. Misalnya: seseorang melaksanakan shalat
dengan memenuhi rukun, syarat, dan sebab, serta orang yang shalat itu terhindar
dari mani’ atau terhalang. Apabila shalat dhuhur akan dilakdanakan, sebab
wajibnya shalat itu telah ada yaitu matahari telah tergelincir, orang yang akan
shalat itu telah berwudlu, dan tidak ada mani’ dalam mengerjakan shalat
tersebut maka shalat yang dikerjakan tersebut sah.
2) Al- Bathl
secara etimologi batal yang dalam bahasa arabnya al-buthlan (البطلان ) yang berarti rusak dan gugur hukumnya. Secara
terminologi menurut Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, yang mengatakan batal adalah :
تَجَزُّدُ التَّصَترُّفِ
الشَّرْعِيِّ عَنْ اِعْتَبَارَهِ وَآثَارِهِ فِى نَظَرِ الشٍّرْعِ
“ Tindakan hukum yang bersifat syar’i terlepas dari
sasarannya, menurut pandangan syara’.”
Maksudnya, tindakan hukum yang bersifat syar’i tidak
memenuhui ketentuan yang ditetapkan oleh syara’, sehingga apa yang dikehendaki
syara’ dari perbuatan tersebut lepas sama sekali (tidak tercapai). Misalnya
suatu perbuatan tidak memenuhi rukun atau tidak memenuhi syarat, atau suatu
perbuatan dilaksanakan ketika ada mani’ (penghalang). Perbuatan seperti itu
dalam pandangan syara’ tidak sah (bathl). Misalnya, dalam persoalan ibadah
yaitu orang yang melaksanakan ibadah sholat harus memenuhi rukun dan syaratnya,
apabila ada penghalang seperti haid atau nifas maka sholatnya tidak sah atau
batal.
Sedangkan dalam bidang muamalah, misalnya dalam transaksi
jual beli apabila yang melakukannya adalah orang yang belum atau tidak cakap
bertindak hukum (seperti anak kecil atau orang gila) maka hukum jual beli
tersebut tidak sah.
Dengan demikian baik dalam bidang ibadah maupun dalam
bidang muamalah, keabsahan suatu perbuatan ditentukan oleh terpenuhi atau
tidaknya rukun, syarat, dan penyebab perbuatan itu, dan tidak mani’ untuk
melaksanakan perbuatan itu.Tetapi apabila perbuatan itu tidak memenuhi syarat,
rukun, dan sebabnya belum ada, atau ada mani’, maka perbuatan itu menjadi
batal.
Disamping istilah sah dan batal, dalam fiqih islam juga
dikenal dengan istilah fasad, yang posisinya diantara sah dan batal.
3) Al-Fasad Secara
etimologi, fasad (الفساد ) berarti ”perubahan sesuatu dari keadaan yang
semestinya (sehat).” Dalam bahasa indonesia berarti “rusak”. Dalam pengertian
terminologi menurut jumhur ulama bahwa antara batal dan fasad mengandung esensi
yang sama, yang berakibat kepada tidak sahnya perbuatan itu. Apabila sesuatu
perbuatan tidak memenuhi syarat, rukun, dan tidak ada sebabnya, atau ada mani’
terhadap perbuatan tersebut, maka perbuatan itu disebut fasad atau batal.
Menurut ulama Hanafiyyah juga mengemukakan hukum lain yang
berdekatan dengan batal, yaitu fasad. Menurut mereka fasad adalah “terjadinya
suatu kerusakan dalam unsur-unsur akad.” Artinya, akad itu pada dasarnya adalah
sah, tetapi sifat akad itu tidak sah. Misalnya, melakukan jual beli ketika
panggilan shalat jum’at berkumandang. Jual beli dan shalat jum’at sama-sama
memiliki dasar hukum. Akan tetapi jual beli itu dilaksanakan pada waktu yang
sifatnya terlarang untuk melakukan jual beli, maka hukumnya menjadi fasad atau
rusak.
5. ‘Azimah dan Rukhshah
‘Azimah adalah
hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah kepada seluruh hambanya sejak semula.
Maksudnya belum ada hukum sebelum hukum itu disyari’atkan oleh Allah. Misalnya,
jumlah shalat dhuhur adalah empat reka’at. Jumlah reka’at ini ditetapkan Allah
sejak semula, dimana tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah reka’at shalat
dhuhur. Hukum tentang shalat dhuhur tersebut adalah empat reka’at, disebut
dengan ‘Azimah.
Adapun yang dimaksud
al-Rukhshah sebagian ulama’ ushul fiqih ialah :
مَا شُرِعَ مِنَ الأَحْكَامِ لِلْتَخْفِيْفِ عَنِ العِبَادِ فِي أَحْوَالِ
خَاصَة
“Hukum-hukum yang
disyari’atkan untuk keringanan bagi mukallaf dalam keadaan tertentu.”
Adapun contohnya yaitu :
a. Rukhshah untuk
melakukan perbuatan yang menurut ketentuan syari’at yang umum diharamkan,
karena darurat atau kebutuhan. Contohnya, boleh memakan daging babi jika
keadaan darurat, diman tidak terdapat makanan selain itu yang jika tidak
dimakan maka jiwa seseorang akan terancam. Berdasarkan firman Allah :
وقد فصّا ل لكم ما حرمعليكمالا مااضطر رتماليه....
Artinya:…”padahal
sesungguhnya Allah yelah menjlaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu,
kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya…” (QS. Al-An’am:119)
b. Rukhshah untuk
meninggalkan yang menurut aturan syri’at yang umum diwajibkan, karena kesulitan
melaksanakannya.Contohnya, barang siapa dalam keadaan sakit atau berpergian
pada bulan ramadhan, maka ia diperbolehkan untuk buka puasa. Sebagaimana firman
Allah.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا اَوْ عَلى شَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ اَيَّامٍ
اُخَرَ
Artinya: “…Maka
barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka puasa), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain…” (QS. Al- Baqarah: 184)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan yang telah dijelaskan di atas maka
dapat disimpulkan bahwa :
Hukum wadh’i adalah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu
adalah sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu.
Adapun yang menjadi bagian dari hukum wadh’i ada 5 yaitu, sebab, syarat, mani’,
Ash-Shihah, Al-Buthlan dan Al-Fasad, ‘Azimah dan rukhsah.
a. Sebab adalah sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai
tanda atas musababnya dan mengkaitkan keberadaan musabab, dengan ketiadaannya.
Contoh: perbuatan zina menyebabkan seseorang dikenai hukuman dera 100
kali
b. Syarat ialah sesuatu yang berada di luar hukum syara’,
tetapi keberadaannya hukum syara’ bergantung kepadanya
c. Mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syar’i
keberadaannya menjadi ketiadaan hukum atau ketiadaan sebab, maksudnya batalnya
sebab itu.
d. As-shihah yaitu tercapainya sesuatu yang diharapkan
secara syara’, apabila sebabnya ada, syarat terpenuhi, halangan tidak ada, dan
berhasil memenuhi kehendak syara’ pada perbuatan itu, sedangkan bathl berarti rusak dan gugur hukumnya
dan fasad yaitu perubahan sesuatu
dari keadaan yang semestinya (sehat)
e.‘Azimah adalah hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah
kepada seluruh hambanya sejak semula, sedagkan rukhsah yaitu keringanan
melakukan sesuatu dlam keadaan tertentu.
Jadi jelaslah bahwa kita harus mengetahui dalil hukum yang
harus kita lakukan dan menjadi pedoman dalam melakukan sesuatu agar tidak
menyalhi aturan yang sudah ditetapkan oleh syara’.
Numpang promo ya Admin^^
BalasHapusayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
dengan minimal deposit hanya 20.000 rupiah :)
Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
- Telkomsel
- XL axiata
- OVO
- DANA
segera DAFTAR di WWW.IONPK.CLUB :-*
add Whatshapp : +85515373217 ^_~