REVOLUSI ILMIAH THOMAS KUHN
DAN RELEVANSINYA BAGI ILMU-ILMU KEAGAMAAN
I. PENDAHULUAN
Masih segar dalam benak kita akan adanya shifting
paradigms[1]
dalam wacana logika dan metafisika. Pemikiran logika telah berkembang dari
logika formal Aristoteles, logika matematika Descartes, logika transcendental
Kant, hingga logika simbolik Pierce. Dalam metafisika juga terjadi letupan
ide-ide dari being qua being (rasionalisme), being as a perceived
being (empirisme), being nothing and becoming (fenomonologi), being
and time (eksistensialisme), hingga being as process (pragmatisme).[2]
Munculnya sebuah buku “Structure of Scientific Revolutions”
pada tahun 1962, yang dikreasi oleh seorang tokoh yang dilahirkan di
Cincinnati, Ohaio. Dia adalah Thomas Kuhn. Pada tahun 1922 Kuhn belajar Fisika
di Havard University, kemudian melanjutkan studinya di pascasarjana, dan
memutuskan pindah ke bidang sejarah ilmu.
“Structure of Scientific Revolutions”, banyak mengubah persepsi orang terhadap apa yang dinamakan ilmu. Jika sebagian orang mengatakan bahwa pergerakan ilmu itu bersifat linier-akumulatif, maka tidak demikian halnya dalam penglihatan Kuhn.
Menurut kuhn, ilmu bergerak melalui tahapan-tahapan yang akan berpuncak pada kondisi normal dan kemudian “membusuk” karena telah digantikan oleh ilmu atau paradigma baru. Demikian selanjutnya. Paradigma baru mengancam paradigma lama yang sebelumnya juga menjadi paradigma baru.[3]
“Structure of Scientific Revolutions”, banyak mengubah persepsi orang terhadap apa yang dinamakan ilmu. Jika sebagian orang mengatakan bahwa pergerakan ilmu itu bersifat linier-akumulatif, maka tidak demikian halnya dalam penglihatan Kuhn.
Menurut kuhn, ilmu bergerak melalui tahapan-tahapan yang akan berpuncak pada kondisi normal dan kemudian “membusuk” karena telah digantikan oleh ilmu atau paradigma baru. Demikian selanjutnya. Paradigma baru mengancam paradigma lama yang sebelumnya juga menjadi paradigma baru.[3]
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (epistemologi),
paradigma epistemologi positivistik telah mengakar kuat selama berpuluh-puluh
tahun, hingga akhirnya setelah sekitar dua atau tiga dasawarsa terakhir ini
muncul perkembangan baru dalam filsafat ilmu pengetahuan[4]
sebagai bentuk upaya pendobrakan atas teori-teori yang lama. Pendobrakan atas
filsafat ilmu pengetahuan positivistik ini dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti:
Thomas Kuhn, Stepehen Toulmin, serta Imre Lakatos.[5]
Ciri khas yang membedakan model filsafat ilmu baru ini dengan model-model
terdahulu adalah adanya perhatian besar terhadap sejarah ilmu dan peranan ilmu
dalam upaya mendapatkan serta mengonstruksikan bentuk ilmu pengetahuan dan
kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi. Sejarah ilmu pada dasarnya merupakan
disiplin ilmu yang relayif masih baru. Pada awal perkembangannya, bidang ini
ditangani dan dikembangkan oleh ahli-ahli dari bidang ilmu lainnya, seperti
ahli fisika.[6]
Thomas Kuhn sendiri dengan latar belakang orang fisika mencoba memberikan
wacana tentang sejarah ilmu ini sebagai starting point dan kacamata
utama dalam menyoroti permasalahan-permasalahan fundamental dalam epistemologi
yang selama ini masih menjadi teka-teki. Dengan kejernihan dan kecerdasan
pikirannya, ia menegaskan bahwa sains pada dasarnya lebih dicirikan oleh paradigma
dan revolusi yang menyertainya.
Dengan konsep pemikirannya ini, Thomas Kuhn tidak hanya
sekedar memberikan kontribusi besar dalam sejarah dan filsafat ilmu, tetapi
lebih dari itu, dia telah menggagas teori-teori yang mempunyai implikasi luas
dalam ilmu-ilmu sosial, seni, politik, pendidikan bahkan ilmu-ilmu keagamaan
dll.
Oleh karena itu, pada pembahasan makalah ini, akan saya
fokuskan pada revolusi ilmiah yang telah dilakukan Thomas Kuhn dan relevansinya
bagi ilmu-ilmu keagamaan.
II.PEMBAHASAN
A.BIOGRAFI THOMAS KUHN
Thomas Kuhn lahir di Cincinnati, Ohio kepada Samuel L. Kuhn, seorang
insinyur industri, dan Minette Stroock Kuhn. Ia memperoleh gelar BS dalam bidang fisika dari Harvard University pada tahun 1943, dan MS dan Ph.D. dalam fisika derajat pada tahun 1946 dan 1949,
masing-masing. Ketika ia menyatakan dalam beberapa halaman pertama dari kata
pengantar edisi kedua dari The Structure of Scientific Revolutions, tiga tahun
dari total kebebasan akademik sebagai Junior Fellow Harvard sangat krusial dalam membiarkan dia
untuk beralih dari fisika ke sejarah (dan filsafat) ilmu pengetahuan. Dia
kemudian mengajar kursus dalam sejarah ilmu pengetahuan di Harvard dari 1948
hingga 1956 di universitas saran presiden James Conant. Setelah meninggalkan Harvard, Kuhn mengajar di Universitas California, Berkeley, baik dalam filsafat sejarah
departemen dan departemen, yang bernama Guru Besar Ilmu
Sejarah
pada tahun 1961. Di Berkeley, ia menulis dan diterbitkan (tahun 1962) yang
paling dikenal dan paling berpengaruh:[7]The Structure of Scientific Revolutions. Pada 1964, ia bergabung Princeton
University sebagai Profesor M. Taylor Pyne Sejarah Filsafat dan Sains.[8]
Pada tahun 1979, ia bergabung dengan Massachusetts Institute of Technology (MIT) sebagai S. Laurance Rockefeller Profesor Filsafat, tinggal di sana
sampai 1991. Kuhn diwawancarai dan direkam fisikawan Denmark Niels
Bohr
Bohr hari sebelum kematian. Rekaman berisi kata-kata terakhir dari Niels Bohr
tertangkap di tape. Pada tahun 1994, Kuhn didiagnosa menderita kanker dari tabung bronkial, di mana ia meninggal pada tahun
1996. Thomas Kuhn sudah menikah dua kali, pertama ke Kathryn Muhs (dengan siapa
ia memiliki tiga anak-anak) dan kemudian ke Jehane Barton (Jehane R. Kuhn).[9]
B.KERANGKA EPISTEMOLOGI THOMAS KUHN.
I.URGENSI SEJARAH ILMU.
Pada pendahuluan diatas telah saya singgung bahwa sosok
Thomas Kuhn adalah mula-mula sebagai seorang ahli fisika yang dalam
perkembangannya mendalami sejarah ilmu dan filsafat ilmu. Karena begitu
antusiasnya kepada kesadaran akan pentingnya sejarah ilmu, ia bahkan mengklaim
bahwa filsafat ilmu sebaiknya berguru kepada sejarah ilmu yang baru.
Pada tahun 1950-an, ketika Kuhn memulai studi sejarah ilmu
pengetahuan, sejarah ilmu pengetahuan masih muda disiplin akademis. Meskipun
demikian, itu menjadi jelas bahwa perubahan ilmiah tidak selalu langsung
sebagai standar, pandangan tradisional akan memilikinya. Kuhn adalah yang
pertama dan penulis paling penting untuk mengartikulasikan sebuah alternatif
dikembangkan nilai dalam filsafat ilmu. Kuhn sepenuhnya sadar akan pentingnya
inovasi-nya untuk filsafat, dan memang pekerjaannya disebut 'sejarah untuk
tujuan filosofis'.[10]
Gagasan Thomas Kuhn ini sekaligus merupakan tanggapan
terhadap pendekatan Popper pada filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Kuhn, popper
memutar balikkan kenyataan dengan terlebih dahulu menguraikan terjadinya ilmu
empiris melalui jalan hipotesis yang disusul dengan upaya falsifikasi. Namun
Popper justru menempatkan sejarah ilmu pengetahuan sebagai contoh untuk
menjustifikasi teorinya.[11]
Hal ini sangat bertolak belakang dengan pola pikir Thomas
Kuhn yang lebih mengutamakan sejarah ilmu sebagai titik awal segala
penyelidikan. Dengan demikian filsafat ilmu diharapkan bisa semakin mendekati
kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah yang sesungguhnya.Begitu urgensinya sejarah
ilmu ini dalam membuktikan teori-teori atau sistem, dapat menghantarkan
kemajuan revolusi-revolusi ilmiah. Menurut Thomas Kuhn bahwa kemajuan ilmiah
itu pertama-tama bersifat revolusioner, bukan maju secara kumulatif.
II.PARADIGMA DAN NORMAL SCIENCE
Thomas Samuel Kuhn (1922-1996) setelah menulis panjang lebar
tentang sejarah ilmu pengetahuan, dan mengembangkan beberapa gagasan penting
dalam filsafat ilmu pengetahuan. Ia paling terkenal karena bukunya The
Structure of Scientific Revolutions di mana ia menyampaikan gagasan bahwa
sains tidak "berkembang secara bertahap menuju kebenaran", tapi malah
mengalami revolusi periodik yang dia sebut pergeseran paradigma.
Analisis Kuhn tentang sejarah ilmu pengetahuan menunjukkan kepadanya bahwa
praktek ilmu datang dalam tiga fase; yaitu:
1)Tahap pertama, tahap pra-ilmiah, yang mengalami hanya
sekali dimana tidak ada konsensus tentang teori apapun. penjelasan Fase ini
umumnya ditandai oleh beberapa teori yang tidak sesuai dan tidak lengkap.
Akhirnya salah satu dari teori ini "menang".
2)Tahap kedua, Normal Science. Seorang ilmuwan yang
bekerja dalam fase ini memiliki teori override (kumpulan teori) yang oleh Kuhn
disebut sebagai paradigma. Dalam ilmu pengetahuan normal, tugas ilmuwan adalah
rumit, memperluas, dan lebih membenarkan paradigma. Akhirnya, bagaimanapun,
masalah muncul, dan teori ini diubah dalam ad hoc cara untuk mengakomodasi
bukti eksperimental yang mungkin tampaknya bertentangan dengan teori asli.
Akhirnya, teori penjelasan saat ini gagal untuk menjelaskan beberapa fenomena
atau kelompok daripadanya, dan seseorang mengusulkan penggantian atau
redefinisi dari teori ini.
3)Tahap ketiga, pergeseran paradigma, mengantar pada
periode baru ilmu pengetahuan revolusioner. Kuhn percaya bahwa semua bidang
ilmiah melalui pergeseran paradigma ini berkali-kali, seperti teori-teori baru
menggantikan yang lama.
Sebagi contoh fenomena adanya pergeseran paradigma ini
adalah tentang saran Copernicus bahwa bumi berputar mengelilingi
matahari, bukan saran Ptolemeus bahwa Matahari (dan planet-planet lain dan
bintang-bintang) berputar mengelilingi bumi. Sebelum Copernicus ada set yang rumit epicycles
(lingkaran di atas lingkaran) yang digunakan untuk memprediksi pergerakan
'benda langit'. Epicyclic asli Ptolmey kombinasi itu, oleh Abad Pertengahan,
menjadi terlihat kurang memadai, dan 'memperbaiki'; oleh astronom kemudian
lebih dan lebih rumit. Copernicus menawarkan kembali ke pandangan
alternatif (disarankan oleh banyak orang di Antiquity), tetapi dengan lebih data yang lebih
baik untuk mendukungnya; account baru ini menurunkan kompleksitas teori yang
diperlukan untuk menjelaskan pengamatan yang tersedia. Tentu saja, sekali oleh Copernicus 'teori ini diterima oleh para
astronom lain, itu diantara masuk periode baru' sains normal '. Penyempitan
ditambahkan oleh Kepler dan Newton berpegang pada paradigma baru.
Contoh-contoh lainnya yang lebih baru adalah penerimaan Einstein relativitas umum untuk menggantikan
Newton tentang gravitasi pada tahun 1920
dan 1930; dan lempeng tektonik Wegener tahun 1960 oleh ahli geologi.[12]
Menurut Kuhn, ilmu sebelum dan sesudah pergeseran paradigma
begitu jauh berbeda melihat teori-teori mereka yang tak tertandingi -
pergeseran paradigma tidak hanya mengubah satu teori, hal itu akan mengubah
cara bahwa kata-kata yang didefinisikan, cara para ilmuwan melihat mereka
subjek, dan mungkin yang paling penting pertanyaan-pertanyaan yang dianggap
sah, dan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan kebenaran suatu teori
tertentu.
Contoh lain dari pergeseran paradigma dalam ilmu alam yaitu
beberapa "kasus-kasus klasik" dari pergeseran paradigma Kuhn dalam ilmu
pengetahuan adalah:
1)Penerimaan
teori Biogenesis, bahwa semua kehidupan berasal dari kehidupan, yang bertentangan dengan teori generasi spontan, yang dimulai pada abad ke-17 dan
tidak lengkap hingga abad ke-19 dengan Pasteur.
Adapun
contoh dalam bidang ilmu-ilmu sosial diantaranya tentang : The Keynesian Revolution yang biasanya dipandang sebagai
pergeseran besar dalam makroekonomi.Menurut John Kenneth Galbraith mengatakan,Hukum didominasi pemikiran ekonomi sebelum Keynes selama lebih
dari satu abad, dan peralihan ke Keynesianisme sangat sulit. Ekonom yang
bertentangan dengan hukum, yang disimpulkan bahwa setengah pengangguran dan
kurangnya investasi (ditambah dengan oversaving) adalah tidak mungkin, berisiko
kehilangan karier mereka. Dalam magnum opus, Keynes dikutip salah seorang
pendahulunya, JA Hobson, yang berulang-ulang menyangkal posisi di universitas
untuk teori sesat. Monetarists berpendapat bahwa kebijakan fiskal tidak penting
bagi stabilisasi ekonomi, berbeda dengan Keynes pandangan bahwa baik kebijakan
fiskal dan moneter yang penting.[13]
Konsep sentral dari teori/epistemologi filsafat Thomas Kuhn
adalah pada istilah yang dinamakan “paradigma”. Istilah ini tidak dijelaskan
secara konsisten, sehingga dalam berbagai keterangannya sering berubah konteks
dan arti.[14]
Ada dua perbedaan fundamental terhadap istilah paradigma yang digunakan oleh
Kuhn, yaitu:
1)Paradigma ialah apa yang akan kita paparkan dari pengujian
perilaku anggota-anggota masyarakat ilmiah yang telah ditentukan sebelumnya.
2)Paradigma dipakai sebagai keseluruhan konstelasi
keyakinan, nilai, teknik, dan lain-lain yang telah dilakukan anggota-anggota
masyarakat yang telah diakui.[15]
Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains
normal[16],
dimana para ilmuan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkannya secara
terperinci dan mendalam, karena disibukkan dengan hal-hal yang mendasar. Pada Sains
normal "memberi arti secara tegas penelitian yang berdasarkan satu
atau lebih melewati prestasi ilmiah, prestasi bahwa komunitas ilmiah tertentu
mengakui untuk sementara waktu sebagai menyediakan dasar untuk berlatih lebih
lanjut". Dalam tahapan ini, seorang ilmuan tidak bersikap kritis terhadap
paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya, dan selama menjalankan riset
ini, ilmuan bisa menjumpai berbagai fenomena yang tidak bisa diterangkan dengan
teorinya.Inilah yang disebut dengan anomali. Dalam konsep paradigma
membantu komunitas ilmiah untuk mengikat disiplin mereka dalam membantu
para ilmuwan untuk :[17]
1)membuat jalan penyelidikan.
2)Merumuskan pertanyaan
3)Memilih metode yang digunakan untuk memeriksa
pertanyaan-pertanyaan
4)Mendefinisikan bidang relevansi
5)Membangun / menciptakan makna.
Sebuah paradigma membimbing seluruh kelompok riset, dan
inilah kriteria yang paling jelas menyatakan bidang ilmu. Berbagai transformasi
paradigma adalah bagian fari revolusi sains, sedangkan transisi yang berurutan
dari paradigma yang satu ke paradigma yang lain melalui revolusi adalah
pengembangan yang biasa dan sains yang telah matang.
III.ANOMALI DAN MUNCULNYA PENEMUAN BARU.
Data
anomali[18]
berperan besar dalam memunculkan sebuah penemuan baru yang diawali dengan
kegiatan ilmiah. Dalam keterkaitan ini, Kuhn menguraikan 2 macam kegiatan
ilmiah yaitu:
1)Puzzle solving
Dalam
puzzle solving, para ilmuan membuat percobaan dan mengadakan observasi yang
tujuannya untuk memcahkan teka-teki, bukan mencari kebenaran. Bila paradigmanya
tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan penting atau malah berefek
konflik, maka suatu paradigma baru harus diciptakan/dimunculkan.
2)Penemuan
paradigma baru
Penemuan
baru bukanlah peristiwa-peristiwa terasing, melainkan episode-episode yang
diperluas dengan struktur yang berulang secara teratur. Penemuan diawali dengan
kesadaran akan anomali, yakni dengan pengakuan bahwa alam dengan suatu cara
telah melanggar pengharapan yang didorong oleh paradigma yang menguasai sains
yang normal. Kemudian ia berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak
diperluas pada wilayah anomali. Dan ia hanya berakhir jika teori atau paradigma
itu telah disesuaikan sehingga yang menyimpang itu menjadi yang diharapkan.
Jadi, intinya bahwa dalam penemuan baru harus ada penyesuaian antara fakta
dengan teori yang baru. Dari teori ini Thomas Kuhn memberikan definisi yang
berbeda antara discovery dan invention. Yang dimaksud discovery adalah kebaruan
faktual (penemuan), sedang invention adalah kebaruan teori (penciptaan) yang
mana keduanya saling terjalin erat satu sama lain.[19]
IV.REVOLUSI ILMIAH: PERMASALAHAN DAN KEUTAMAANNYA
Pada
uraian diatas telah saya singgung tentang revolusi sains (revolusi ilmiah) yang
muncul karena adanya anomali dalam riset ilmiah yang dirasakan semakin parah,
dan munculnya krisis yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma yang
dijadikan sebagai referensi riset. Revolusi sains disini merupakan sebuah
episode perkembangan non-kumulatif yang didalamnya terangkum sebuah paradigma
lama yang diganti sebagian atau keseluruhan dengan paradigma baru (yang bertentangan).
Adanya revolusi sains bukanlah hal yang berjalan mulus tanpa hambatan, namun
kerap kali ada pro-kontra serta gesekan-gesekan dari masyarakat yang
menyertainya. Sebagai contoh: misalnya mengenai perdebatan antara pendukung
Aristoteles dengan pendkung Galileo dalam melihat benda berayun. Aristoteles
membuat teori bahwa benda berayun itu hanyalah jatuh dengan kesulitan karena
tertahan oleh rantai. Sedang Galileo memandang benda yang berayun itu dari sisi
pendulumnya.[20]
Dalam
pemilihan paradigma tidak ada standar baku melainkan hanyalah menyesuaikan diri
terhadap persetujuan masyarakat. Adanya revolusi sains dengan berbagai teori
argumentatifnya akan membentuk masyarakat sains. Oleh karena itu, permasalahan
paradigma / munculnya paradigma baru sebagai akibat dari revolusi sains tiada
lain hanyalah sebuah konsensus atau kesepakatan yang sangat ditentukan oleh
retorika di kalangan akademisi atau masyarakat itu sendiri.[21]
Sejauh mana paradigma baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka
disitulah revolusi sains (revolusi ilmiah) akan terwujud. Selama proses
revolusi, para ilmuan melihat hal-hal baru dan berbeda dengan ketika
menggunakan instrument-instrument yang sangat dikenalnya untuk melihat
tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat professional itu
tiba-tiba dipindahkan ke daerah lain dimana objek-objek yang sangat dikenal
sebelumnya tampak dalam penerangan yang berbeda dan juga berbaur dengan
objek-objek yang tidak dikenal. Kalaupun ada ilmuan atau sebagian kecil ilmuan
yang tidak mau menerima paradigma yang baru sebagai landasan risetnya, dan ia
tetap bertahan pada paradigma yang telah dibongkar yang sudah tidak mendapat
legitimasi dari masyarakat sains, maka aktifitas-aktifitas risetnya hanya
merupakan taitologi yang tidak nermanfaat sama sekali. Inilah yang dinamakan
perlunya revolusi ilmiah.
V.REVOLUSI ILMIAH THOMAS KHUN: RELEVANSI TERHADAP ILMU-ILMU
AGAMA.
Beberapa
Gagasan bagi Pengembangan Wacana ilmu-ilmu Agama dan Sains ke depan dengan
paradigmanya adalah sesuatu hal yang perlu guna memahami tuntutan masyarakat
dan perkembangan zaman. Perlu adanya shifting paradigm di bidang epistemologi
keilmuan Islam yakni dari epistemologi keislaman normatif-tekstual-bayani yang
berakibat pada sulitnya mengadopsi dan mengelaborasi wawasan dan temuan baru di
bidang sains; ke epistemologi keilmuan Islam kontemporer yang bercorak
intuitif-spiritual-irfani (secara aksiologis) yang banyak berkaitan dimensi
etika bagi pengembangan sains; maupun yang bercorak empiris-historis-burhani
(secara epistemologis) yang berdampak pada adanya temuan baru (the context of
discovery/qiro’ah muntijah/production of meaning) di bidang sains.
Pergeseran
paradigma ini merupakan sintesa baru antara corak Ghazalian (mazhab keilmuan
Al-Ghazali/di Barat: al-Ghazl) dengan Rusydian (mazhab Ibnu Rusyd/di Barat:
Averroes). Epistemologi keilmuan Islam klasik yang menghambat kemajuan temuan
dunia sains perlu segera direview ulang. Pemahaman tentang ijtihad sebagaimana
yang dikemukakan Dr. Sir Mohammad Iqbal (1981: 148) sebagai the principle of
movement dapat dijadikan acuan filosofis bagi upaya pergeseran paradigmatic
ini.[22]
Karena pada hakikatnya setiap hasil ijtihad telah terpenjara oleh historisitas
yang mengitarinya yakni dimensi palace, space and time, dan oleh karenanya
setiap pemahaman keilmuan agama (termasuk Islam) maupun wacana sains akan
mengalami kemapanan, yang oleh Thomas Kuhn disebut normal science, dan lambat
laun mengalami krisis dan mendorong untuk lahirnya perspektif keilmuan yang
baru (revolutionary science).
Bangunan
pemikiran Thomas Kuhn dengan jargonnya paradigma dan revolusi sains, secara
lebih komprehensif dapat diaplikasikan dalam menyoroti esensi atau fundamental
structure dari ilmu-ilmu keagamaan; dalam ilmu agama islam bisa melingkupi
wilayah kajian tafsir, hadits, fiqih, akidah akhlak dan lain-lain yang memuat
berbagai argumentasi ilmiah dalam prakteknya di masyarakat.
Dalam
peta ilmu-ilmu keislaman, ilmu tafsir termasuk ilmu yang belum matang (ghair
an-Nadli), sehingga selalu terbuka untuk dikembangkan. Sejarah perkembangan
tafsir al-Qur’an secara garis besar dapat dibedakan menjadi tafsir pra modern
(klasik) dan tafsir modern. Bila dilihat dari perspektif Thomas Kuhn secara
dialektik dan revolusioner, tafsir yang dua periode itu dikembangkan dengan
menggunakan paradigma. Paradigma adalah pandangan fundamental tentang pokok
persoalan (subject matter) dari objek yang dikaji. Dalam studi tafsir, objek
itu adalah al-Qur’an. Jadi paradigma tafsir itu adalah pandangan mendasar
mengenai al-Qur’an yang ditafsirkan, berkenaan dengan apa yang harus dikaji
dari kitab suci tersebut.
Para
mufassir al-Qur’an tentunya menggunakan paradigma dalam penafsiran yang
dilakukan, karena ia inhere nada dalam teori tafsir yang dengan sadar atau
tidak sadar digunakan dalam penyusunan tafsir. Sampai zaman pra-modern ada tiga
teori tafsir yang dominan, masing-masing dengan sisi paradogmanya sendiri, dan
menghasilkan tafsir normal science yang melimpah dan berpengaruh; yaitu
terdiri atas tiga teori:[23]
1)Teori teknis; ini dirumuskan dalam definisi yang
menyatakan bahwa tafsir adalah kajian mengenai cara melafalkan kata-kata
al-Qur’an, pengertiannya, ketentuan-ketentuan yang berlaku padanya ketika
berdiri sendiri dan ketika berada dalam susunan, arti yang dimaksudkannya dalam
susunan kalimat al-Qur’an yang melengkapi kajian mengenai hal itu. Teori in
menekankan hal-hal teknis dalam al-Qur’an yang meliputi bahasa, tata cara
pembacaan, proses pewahyuan. Contoh penerapan teori ini melahirkan banyak kitab
tafsir diantaranya: Tafsir al-Baidhowi dan Tafsir al-Kasyaf (bercorak kebahasaan).
2)Teori Akomodasi; ini dirumuskan dalam definisi yang
menyatakan bahwa tafsir itu adalah kajian untuk menjelaskan maksud al-Qur’an
sesuai dengan kemampuan manusia. Pada teori ini ditekankan bahwa otoritas yang
berhak memberikan penjelsan terhadap al-Qur’an tidak hanya Nabi SAW, Sahabat
dan tabi’in saja, melainkan ulama-ulam akhir (belakangan) juga memiliki hak
otoritas yang sama. Penekanan teori ini didasarkan pada eksplanasi al-Qur’an.
Contoh penerapan teori ini telah menghasilkan tafsir yang bercorak Isyari, dan
falsafi.
3)Teori Takwil; dalam teori ini perumusan kata takwil tidak
bisa diungkap secara definitif. Namun menurut pendekatan al-Qur’an surah Ali
Imran ayat 7 tentang makna takwil ini adalah kemampuan untuk memahami ayat-ayat
yang sifatnya mutsyabihat (samar-samar) dikalangan para ulama khos (al-Raasikhun
fil ilmi). Penekanan pada teori ini adalah berangkat dari pandangan bahwa
al-Qur’an dalam Islam merupakan dalil yang memiliki otoritas tertinggi, oleh
karena itu agar satu madzhab bisa memiliki kekuatan di kalangan umat, maka ia
harus memiliki legitimasi dari al-Qur’an, yakni dengan melakukan takwil
terhadap ayat-ayat yang dikehendaki. Dengan demikian teori ini pada hakikatnya
di bangun atas paradigma legitimasi al-Qur’an. Contoh penerapan teori ini telah
menghasilkan banyak karya tafsir yang bersifat partisan, baik dalam Kalam,
fiqh, politik; seperti tafsir ar-Razi. Dalam sejarah, teori ini bisa
menimbulkan rahmat bagi satu madzhab dan laknat bagi madzhab yang lain dan
sebaliknya sehingga tidak bisa menjadi solusi permasalahan zaman.
Tafsir
pra-modern yang dihasilkan dengan menggunakan ketiga teori dan paradigma itu,
sebagai normal science, telah mengalami krisis sehingga tidak bisa tidak
bisa dijadikan rujukan bagi umat Islam untuk menjawab tantangan zaman yang
selalu dinamis. Karena itu, perlu kiranya dimunculkan paradigma baru untuk
merespons tuntutan masyarakat itu dalam menafsirkan al-Qur’an agar al-Qur’an
senantiasa berfungsi shalihun fi kulli zaman wa makan. Oleh para
pembaharu Islam telah dikembangkan teori dan paradigma baru dalam menafsirkan
al-Qur’an, yaitu:
1)Teori fungsional dengan paradigma petunjuk al-Qur’an.
Teori ini menekankan pada definisi operasional dalam kitab suci al-Qur’an.
Contoh penerapan teori ini telah menghasilkan kitab tafsir al-Manar karya
Muhammad Abduh & Rasyid Ridha. Teori ini juga digunakan oleh Fazlur Rahman
dalam metode hermeneutiknya.Spirit tafsir yang diusahakan dalam teori ini
adalah pemahaman al-Qur’an sebagai agama yang menunjukkan manusia kepada ajaran
yang mengantarkan kebahagiaan hidup mereka di dunia dan akhirat. Kajian diluar
itu hanya menjadi konsekuen atau alat untuk mencapainya.
2)Teori Literasi dengan paradigma kesusasteraan al-Qur’an
yang dikembangkan oleh Amin al-Khuli. Teori ini menekankan sebagaimana dalam
definisi tafsir yang dikemukakan Amin al-Khuli bahwa tafsir itu adalah
kesusasteraan (tentang al-Qur’an) yang benar metode, lengkap aspek-aspeknya dan
sistematis pembagiannya. Teori ini berangkat dari paradigma bahwa al-Qur’an itu
merupakan kitab berbahasa Arab yang agung. Penerapan teori ini memunculkan
tafsir yang diterapkan oleh Bint al-Syati’ dan Ahmad Khalafullah. Muhammad
Arkoun yang menerima teori dekonstruksi al-Qur’an juga menggunakan pendekatan
teori literasi ini.
C.KESIMPULAN
Melihat
pengembangan epistemologi dari Thomas Kuhn diatas terutama dalam diversifikasi
dalam pengkajian agama Islam sebagai contoh adalah masalah tafsir al-Qur’an
yang begitu prinsip; tentunya revolusi ilmiah yang telah dikembangkan Thomas
Kuhn telah membawa perubahann besar dalam peradaban manusia dan Islam. Kuhn
telah menarik fakta bahwa para filosof ilmu pada umumnya tidak menghiraukan
persoalan hermeneutik yang pokok seperti persoalan tentang apa yang sebenarnya
dilakukan oleh seorang ilmuan. Menurut Kuhn rasioanalitas ilmiah yang
sebetulnya ambigu itu pada dasarnya bukanlah semata-mata perkara induksi atau
deduksi atau juga rasioanalits objektif, melainkan lebih pada perkara
interpretasi (hermeneutis) dan persuasi yang cenderung lebih bersifat
subjektif.
Oleh
karena itu, segala yang dikatakan ilmu tentang dunia dan kenyataan sebetulnya
terkait erat dengan paradigma dan model atau skema interpretasi tertentu yang
digunakan oleh ilmuannya. Cara ilmuan memandang dunia menentukan dunia macam
apa yang dilihatnya. Jadi pengetahuan bukanlah foto kopi dari sebuah realitas,
melainkan realitas hasil kontruksi manusia. Dan paradigma yang mendasari
konstruksi itu diterima dan dipercayai komunitas para ilmuan, bukan karena para
ilmuan itu tahu bahwa itu benar, melainkan karena mereka percaya bahwa itu yang
terbaik, yang paling member kemaslahatan dan harapan bila digunakan untuk riset
dan penelitian selanjutnya. [ ]
DAFTAR
PUSTAKA
A.C Ewing, The Fundamental
Questions of Philosophy, (New York: Collier Books, 1962), terj.Uzair
Fauzan, Rika Iffati Farikha, Persoalan-persoalan Mendasar Filsafat,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),
Alan E.Musgrave, Kuhn’s Second
Thought, dalam Gary Gutting, Paradigma and Revolutions, Appraisal and
Applications of Thomas Kuh’s Philosophy of Science, (Indiana: Dame Press,
1980)
Alexander
Burung (2004), Thomas Kuhn, Stanford Encyclopedia of Philosophy
DR.Zubaedi, M.Ag, M.Pd dkk, Filsafat
Barat, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007)
E.Sumaryono, Hermeneuti sebuah
Metode filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999)
Fazlur Rahman, Tema Pokok
Al-Quran, (Bandung: Pustaka, 1983)
Gary Gutting (Ed.), Paradigms and
Revolutions: Appraisals and Aplication of Thomas
Kuhn’s Philosophy of Science, (London: University of Notre Dame Press, 1980)
Kuhn’s Philosophy of Science, (London: University of Notre Dame Press, 1980)
Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisme dalam Islam, (Jakarta Bulan Bintang, 1973)
John Cottingham, Western
Philosophy An Anthology, (Cambridge: Blackwell, 1996)
M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali
dan Kant, Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan,
2002)
2002)
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer
dalam Pandangan Neomodernisme Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin
dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992)
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu:
Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998)
Sir Mohammad Iqbal, The
Reconstruction of Religious Thought in Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981),
hlm 148
Syed Muhammad NAquib Al-Attas, Islam
and the Philosophy of Sciences, Kuala Lumpur: ISTAC, 1989
Tafsir Hadits FU UIN Sunan Kalijaga,
editor A.Rofiq, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), cet. 1,
hlm.viii-xiii
Thomas S.Kuhn,The Structure of
Scientific Revolutions, (Chicago: The University of Chicago Press, 1970),
Verhak dan Imam R.Haryono, Filsafat
Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gramedia, 1989)
[1]Shifting
paradigms adalah istilah yang cocok untuk
menggambarkan terjadinya dimensi kreatif pemikiran manusia dalam bingkai
kefilsafatan.
[2]
Lihat A.C Ewing, The Fundamental Questions of Philosophy, (New York:
Collier Books, 1962), terj.Uzair Fauzan, Rika Iffati Farikha, Persoalan-persoalan
Mendasar Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet 1, hlm.11-14.
Lihat juga pembahasan rinci tentang epistemologi pada buku, Noeng Muhadjir, Filsafat
Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin,
1998)
[3]
Lihat John Cottingham, Western Philosophy An Anthology, (Cambridge:
Blackwell, 1996), hlm. 349-350
[4]
Istilah filsafat ilmu pengetahuan biasanya diterapkan pada cabang logika yang
dalam cara tertentu berhubungan dengan metode-metode ilmu –pengetahuan yang
berbeda.
[6]
Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini bidang sejarah ilmu sudah ditangani oleh
orang-orang yang memang secara khusus concern dalam bidang ini. Lihat, Verhak
dan Imam R.Haryono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gramedia,
1989), hlm. 163
[7]
Alexander Burung (2004), Thomas Kuhn, Stanford Encyclopedia of
Philosophy http://plato.stanford.edu/entries/thomas-kuhn/http://plato.stanford.edu/entries/thomas-kuhn/
[11] Lihat, Verhak dan Imam R.Haryono, Filsafat
Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 165
[14]
Lihat Thomas S.Kuhn,The Structure of Scientific Revolutions, (Chicago:
The University of Chicago Press, 1970), hlm. 10
[15]
Lihat, Alan E.Musgrave, Kuhn’s Second Thought, dalam Gary Gutting,
Paradigma and Revolutions, Appraisal and Applications of Thomas Kuh’s
Philosophy of Science, (Indiana: Dame Press, 1980), hlm.44
[16]
Sains normal mengandung arti: riset dengan teguh berdasar atas satu atau lebih
pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu
pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fondasi bagi praktik selanjutnya.
Lihat dalam Thomas S.Kuhn, The Stucture of Scientific Revolutions, Op.Cit, hlm.10
[18]
Anomali adalah fenomena-fenomena dalam aktifitas ilmiah yang dijumpai ilmuan
dimana ia tidak bisa menerangkan dengan teorinya.
[22]
Lihat Sir Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam,
(New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), hlm 148
[23]
Lihat pendapat DR.Hamim Ilyas dalam kata pengantar pada buku Dosen Tafsir
Hadits FU UIN Sunan Kalijaga, editor A.Rofiq, Studi Kitab Tafsir,
(Yogyakarta: Teras, 2004), cet. 1, hlm.viii-xiii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar